"Potong Pita, Potong Harapan" Tepuk Tangan Seremonial Sejati
Oleh: arie.ase
Di tengah dinamika pembangunan daerah yang menuntut percepatan, muncul fenomena yang kian kentara: para pejabat sibuk memoles panggung, namun lupa menghidupkan naskahnya. Judul "Panggung Tanpa Aksi, Seremonial Sejati" seolah menjadi cermin realita di berbagai sudut negeri ini, termasuk di daerah kita.
Panggungnya megah, dekorasi memukau, undangan berjejer rapi. Mikrofon siap, kamera mengintai dari setiap sudut, dan deretan kursi tamu kehormatan terisi penuh. Namun, setelah gemuruh tepuk tangan dan jepretan kamera reda, masyarakat kembali ke rumahnya tanpa membawa kabar gembira tentang perubahan yang nyata.
Seremoni memang perlu, sebagai tanda dimulainya sebuah program, peresmian proyek, atau apresiasi terhadap capaian. Namun, jika setiap langkah pejabat hanya berhenti pada pemotongan pita, pelepasan balon, atau pose di depan backdrop acara, maka publik berhak bertanya di mana wujud aksi setelahnya?
Rakyat bukan hanya penonton yang diminta bertepuk tangan. Mereka menunggu bukti nyata jalan yang benar-benar dibangun, pelayanan publik yang lebih cepat, pendidikan yang lebih layak, dan kesejahteraan yang terasa di dapur mereka. Seremoni tanpa aksi hanyalah sandiwara yang menghabiskan anggaran.
Opini ini bukan sekadar kritik, melainkan pengingat. Panggung hanyalah alat, bukan tujuan. Keberhasilan pejabat bukan diukur dari seberapa sering wajahnya muncul di baliho acara, melainkan dari seberapa banyak masalah rakyat yang berhasil ia selesaikan.
Masyarakat tentu memahami, pembangunan bukanlah perkara sehari jadi. Tetapi mereka juga berharap, di balik balon yang dilepaskan dan pita yang dipotong, ada kerja nyata yang bergerak tanpa perlu publikasi berlebihan. Sebab panggung yang megah tanpa tindak lanjut ibarat kalender tanpa tanggal — hanya hiasan, bukan panduan.
Pejabat yang bijak tahu, tepuk tangan hanyalah awal. Yang lebih penting adalah memastikan tangan-tangan yang bertepuk itu kelak bisa merasakan hasil kerja yang dijanjikan. Karena pada akhirnya, yang dikenang bukanlah seberapa sering berdiri di depan backdrop acara, melainkan jejak perubahan yang ditinggalkan.
Mari kita rawat panggung, tetapi jangan lupa menulis naskah dan memainkan peran. Sebab rakyat bukan penonton yang puas hanya dengan senyum dan foto, mereka adalah pemilik cerita yang menunggu akhir yang bahagia.
#opinipublik #beritaviral
Tags
Opini